Muhammad Al-Fayyadl

Kelompok-kelompok dominan diuntungkan dengan sektarianisme dalam masyarakat, namun wacana-wacana dominan yang memungkinkan terus eksisnya kelompok-kelompok tersebut diuntungkan oleh ketidakmampuan masing-masing kelompok yang bertikai untuk menjadi subjek atas eksistensi mereka sendiri.

Demikianlah, kepada “minoritas”, kita menyebut mereka sebagai “korban”. Dan kepada para eksekutornya, kita menyebutnya “pahlawan” atau “preman”. Di sini, kita akan mencoba melihat bagaimana kedua kelompok tersebut sebenarnya tengah sama-sama dilumpuhkan oleh kelompok yang lebih dominan, yang menjadikan para eksekutor instrumen untuk memukul kelompok yang pertama, demi “keamanan dan ketertiban”, dan menjadikan “korban” di sisi lain sebagai kelompok yang secara langsung mengalami penderitaan di bawah eksekusi, namun tetap dibiarkan bungkam dan lumpuh dalam statusnya sebagai “korban”.

Sangat sulit untuk menyadari bahwa dengan menyebut “korban” terhadap minoritas—Syi’ah, Ahmadiyah… —kita diam-diam berpartisipasi dalam memperkuat sistem yang dominan. Penyebutan itu terasa natural dan wajar, karena kita mendengar, membaca, dan mereproduksinya dari persepsi publik yang terbentuk pasca-peristiwa. Namun penyebutan itu sebenarnya memiliki efek ganda, karena ia tidak sekadar menempatkan kaum minoritas tertentu yang menjadi sorotan sebagai objek simpati dan mobilisasi solidaritas publik terhadapnya, namun juga menjadikan minoritas itu sebagai korban untuk kedua kalinya: korban dari persekusi dan eksekusi para eksekutornya, dan korban dari persepsi mayoritas yang terus menempatkannya sebagai korban.

Bila efek pertama terasa langsung dari persentuhan antara kekerasan dan tubuh minoritas, antara batu dan api yang membakar rumah mereka dan membuat mereka terusir dari kampung halaman, efek kedua lebih samar, namun jauh lebih efektif dan bertahan lama, karena ia memproduksi dan mereproduksi kekerasan itu pada taraf kolektif, kekerasan yang melanggengkan ketidaksetaraan di dalam masyarakat dengan menempatkan korban sebagai objek pasif dalam hubungannya dengan “mayoritas” dan kelompok dominan.

Benarkah komunitas Syi’ah di Sampang merupakan “korban”? Dalam arti apa mereka merupakan korban? Siapa yang mendefinisikan bahwa mereka merupakan korban?

Definisi “korban” tidak muncul seketika. Seorang pengikut Syi’ah yang rumahnya dibakar dan diamuk oleh massa, lalu menyelamatkan diri dengan ketakutan, tidak memahami diri mereka sebagai korban, tetapi dapat merasakan bahwa dirinya merupakan objek kebencian dari sekelompok orang lain yang tidak menyukai keberadaannya. Objek kebencian, ia, namun demikian masih mendefinisikan dirinya sebagai subjek yang secara potensial dapat melawan kebencian itu, entah dengan klarifikasi atau protes, entah dengan jalan persuasif atau oposisi, di tengah keterbatasan-keterbatasannya dari segi kuantitas di hadapan kelompok yang membencinya. Penderitaan yang dialaminya secara langsung merupakan alasan yang kuat bagi potensi itu, karena penderitaan ini memungkinkan dirinya dan kelompoknya mendefinisikan diri sebagai subjek hukum untuk menuntut si pelaku. Namun faktor-faktor darurat dari situasi yang terjadi pada momen itu tidak memungkinkannya untuk menarik konsekuensi yuridis dan politis dari penderitaan ini, kecuali menundanya sampai suatu momen yang memungkinkan penderitaan itu diungkapkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa hukum dan politis—suatu momen di mana pengalaman diterjemahkan menjadi bahasa konsep, di mana penderitaan menjadi bahasa perlawanan.

Momen itu, dalam suatu gerak brutal, direbut kemudian oleh persepsi publik yang terbentuk terlepas dari diri mereka sebagai minoritas. Persepsi yang melahirkan suatu opini bahwa karena mereka minoritas, maka dalam situasi pengusiran dan eksekusi itu, mereka merupakan korban. Mereka merupakan korban, karena mereka dipandang sebagai objek kebencian yang mengalami kekerasan dari suatu kelompok yang dipandang lebih kuat, sehingga mereka otomatis dipandang lebih lemah, dari segi kekuatan, jumlah, dan pengaruh. Ketidakmampuan mereka di saat-saat darurat itu untuk menyatakan suatu reaksi yang berimbang atas kekerasan yang mereka derita dari si pelaku, membuka setitik celah bagi persepsi publik untuk membangun suatu konsepsi tentang ketidakmampuan mereka secara permanen, yaitu bahwa mereka menjadi korban, karena mereka benar-benar dan selamanya tidak mampu. Konsepsi ini pada gilirannya bukan hanya dianut oleh publik itu sendiri, sebagai “mayoritas” yang tidak terkena dampak langsung dan menemukan diri mereka tertarik dan bersimpati pada persoalan itu, tetapi juga dianut oleh minoritas, yang menginternalisasinya menjadi kesadaran bahwa mereka, minoritas, merupakan korban.

Momen yang paling kritis terjadi ketika identifikasi minoritas sebagai korban ini terjadi secara permanen, dan semakin diperkuat oleh ketidaksadaran publik dalam memposisikan hubungannya dengan minoritas. Di satu sisi, pada sisi subjektif dan internal kaum minoritas, mereka memahami dan mendefinisikan diri mereka dalam kategori-kategori yang dibuat oleh mayoritas publik, tanpa mereka menyadarinya, yaitu bahwa sebagai korban, mereka memang merupakan korban. Tidak muncul kesadaran bahwa sekalipun korban, mereka tidak selamanya menjadi korban, karena mereka adalah kelompok yang setara dengan kelompok-kelompok lain yang memiliki hak-hak yuridis-politis di hadapan negara yang harus mereka tuntut. Secara khusus, tidak muncul kesadaran politis bahwa keminoritasan mereka tidak otomatis menjadikan mereka pihak yang lebih lemah, dan karenanya lebih inferior, di dalam masyarakat. Di sisi lain, pada sisi objektif, dengan mengidentifikasi minoritas sebagai korban, publik tidak menyadari bahwa ia tengah membangun relasi yang, alih-alih membebaskan, membelenggu minoritas yang hendak dibelanya di hadapan negara dan aparatur, dengan menciptakan secara tak sadar hubungan subordinatif yang terus menempatkan minoritas sebagai objek yang patut dikasihani.

Solusi-solusi karitatif—bantuan-bantuan kemanusiaan—yang biasanya menjadi pilihan spontan dan pragmatis begitu persoalan minoritas itu muncul ke permukaan, dengan demikian, bukan bagian solusi, tetapi masalah itu sendiri. Solusi karitatif, terlebih bila dilembagakan, merupakan ekspresi dari ketimpangan dan kesenjangan yang dibentuk oleh hubungan subordinatif itu; dan tak ada yang lebih merisaukan daripada ketika aksi karitatif ini menjadi alat bagi kelompok yang dominan—partai politik yang berkuasa, para politisi kaya yang berebut pengaruh—untuk menarik simpati dan memberikan citra kedermawanan di hadapan minoritas.

Sebagian solusi dari kaum “pluralis”, sayangnya, masih terpusat pada model karitatif, dan itu membuat kita layak bertanya tentang model solidaritas apa yang bisa dibangun tanpa terjatuh ke dalam model karitatif yang tipikal ini. Sebagian lain mengambil model rekonsiliasi dan mediasi antara pihak-pihak yang bertikai. Namun model ini juga meragukan, karena ia menghapus tanggung jawab eksekutor dan pelaku kekerasan dan, dengan demikian, menghapus penderitaan minoritas itu dengan memaksanya secara halus untuk memaafkan si pelaku.

Kedua model ini belum dapat memikirkan bagaimana minoritas dapat menjadi subjek yang dapat berbicara dan menuntut haknya untuk eksis. Dengan kata lain, bagaimana minoritas dapat memikirkan dirinya bukan lagi sebagai korban, tetapi subjek politik yang berdaya dan memiliki kekuatan untuk membela eksistensinya sendiri.[]


November 2012

Peristiwa-peristiwa berlalu-lalang dengan cepat di kota yang dingin ini, di mana cahaya matahari kadang tampak begitu kikir berbagi sedikit saja kehangatan cahayanya bagi kami, para penghuni kota ini. Di antara lalu-lalang peristiwa-peristiwa itu, yang tak semuanya tercatat atau teringat detail-detailnya—karena mereka sering kali berlalu lebih cepat daripada kata-kata—pada momen tertentu, pada titik tertentu dari gelombang kesadaranku, yang berusaha menandai, menamai, atau menorehkan seberkas saja makna pengalaman-pengalaman itu di dalam ingatanku, aku merasakan kebenaran kata-kata Rimbaud, dalam sebuah puisinya yang dikutip Badiou dalam kuliahnya di École Normale Supérieure beberapa minggu silam: “Je suis un éphémere et point trop mécontent citoyen d’une métropole crue moderne parce que tout goût connu a été éludé…”. “Aku hanya sesosok remeh dan sama sekali bukan penduduk yang terlampau tak puas dari sebuah kota metropolitan modern yang kasar, karena semua aroma yang pernah dikenal telah lenyap…”. Rimbaud menulis itu untuk London yang dilihatnya pada akhir abad ke-19, namun kata-kata itu terasa begitu mengena untuk menggambarkan sebagian peristiwa di sudut-sudut Paris yang kualami.

“Aku hanya sesosok remeh”; di antara jutaan orang yang berlalu-lalang di kota ini, aku hanya sebuah titik yang muncul dan menghilang di antara kelimun orang-orang yang bergegas di metro, para konsumen yang mengantre di supermarket, para pedagang dan pembeli yang bertransaksi di pasar, para turis yang berjalan di pinggir Seine, para pendengar di ampiteater Sorbonne, para mahasiswa yang berburu buku-buku murah di Saint-Jacques, para demonstran pro-Palestina…. dan seterusnya dan seterusnya. “Aku hanya sesosok remeh”, kata Rimbaud, tapi aku “sama sekali bukan penduduk yang terlampau tak puas”. Ada penyangkalan di dalam kata-kata itu, seakan Rimbaud hendak menyembunyikan ketakpuasannya; ia merasakan keberadaannya yang seakan tak berarti di kota itu, namun ia menyangkal bahwa ia sedang tak puas—suatu penyangkalan yang membuktikan sebaliknya, bahwa ia tak puas. Penyangkalan yang megisyaratkan suatu permainan kontras dalam hubungan antara Rimbaud dan “kota”-nya: ia tak puas karena ia hanya menjadi sesosok remeh yang barangkali tak berarti di antara penduduk kota itu, namun ia bukannya tak puas—dan seperti sedang mencari kepuasan yang lain—terhadap kota di mana “aroma yang pernah dikenal telah lenyap…”.

Aku tersenyum merenungkan kata-kata Rimbaud. Sebuah kota memang tidak sesederhana dialektik “sentimental” antara puas dan tak puas, karena kota selalu menyimpan pesona dan maginya yang kadang tak mudah dipahami, dan karena itu seperti tak mudah untuk sekadar dicintai atau dibenci. Seseorang mungkin menyukai jalan-jalan pedestrian sebuah kota tapi membenci cahaya-cahaya billboard-nya. Sebagaimana dia mungkin tidak menyukai keramaian kota itu di pagi hari tapi menyukai kemeriahannya di malam hari.

Begitupun dengan Paris. Apa yang kusukai dan tak kusukai dari kota ini bukan hal yang mencuri perhatianku selama beberapa waktu kemarin, namun dari hari ke hari, semakin kelihatan benang-benang yang mempertemukan tapi sekaligus memisahkan kedua hal itu. “Apa yang kau sukai dari Paris?” tanyakan itu pada seorang turis yang baru dua hari menginjakkan kota ini, dia akan menjawab “Eiffel” atau “Louvre”. Tapi tanyakan kepadaku pertanyaan yang sama, aku akan tersenyum dan mengatakan bahwa jawabannya tak sesederhana itu.

Pemandangan yang megah, bangunan-bangunan kuno yang selalu mengundang rasa penasaran, atau jalanan yang bersih dan rapi baru satu di antara selubung yang menghiasi kota, namun belum “darah dan daging”-nya. Pemandangan itu baru pintu masuk untuk mengenal kota itu lebih dalam, mengenal sejarah dan orang-orangnya. Dan karena ia selubung, begitu banyak hal yang masih menunggu untuk diungkap, untuk dipelajari, untuk dialami. Pada gilirannya engkau pun akan menyadari bahwa lapisan-lapisan yang tak langsung tertangkap secara kasat itu terletak pada perjumpaan-perjumpaan antara engkau dan kota itu, antara engkau dan orang-orangnya, dan antara kota itu, engkau dan orang-orangnya.

Di dalam perjumpaanku dengan les Parisiens inilah aku menemukan sedikit demi sedikit yang kusukai dan yang tak kusukai, yang menyenangkan dan yang menjengkelkan, yang melipur dan yang menggusarkan, satu per satu seperti terkuak dari benang-benang yang kusut. Kutemukan sisi-sisi wajah yang kadang kabur dari mereka: suatu saat, kutemukan ketidakpedulian dan egoisme, di saat lain, kutemukan antusiasme dan kehangatan. Suatu saat, kutemukan sifat temperamental mereka yang sewenang-wenang, di saat lain, kutemukan senyum ramah. Suatu saat, kutemukan mereka menghardik, di saat lain, kutemukan mereka mengulurkan tangan. Tapi secara umum, kutemukan satu kecenderungan umum di mana indiferentisme, atau sikap tak mau tahu, dominan. Setiap orang seperti orang asing satu sama lain, setiap orang seakan sibuk mengurus dirinya, memikirkan pekerjaannya, seakan ada balok-balok kaca di antara mereka. Ada semacam ketakutan yang mendorong mereka lebih tertutup, lebih waspada, lebih menjaga privasi dari tatapan dan sapaan orang lain.

Mungkin karena itulah di sini lahir gagasan-gagasan besar eksistensialis yang tidak mungkin tanpa suatu pra-kondisi kultural di mana para individu mengalami semacam keterasingan yang mencekam satu sama lain. Atau itu menjelaskan mengapa ada budaya “Rendez-vous” yang sangat kuat, di mana seseorang harus membuat janji terlebih dulu untuk bertemu dengan orang lain, karena dengan cara itu mereka menjaga orang lain tetap berada dalam wilayah aman dengan privasi mereka. Selebihnya adalah pra-kondisi politis: Paris menerima bergelombang-gelombang imigran, berkulit hitam, cokelat maupun putih, dari Afrika, Asia, dan Eropa Timur; kehadiran para imigran itu menimbulkan sentimen konservatif tertentu, fobia, dan ketakutan tertentu. Hal ini menjelaskan mengapa partai-partai konservatif tetap dan makin kuat mendapat dukungan dengan memanfaatkan sentimen rasial akan terancamnya identitas orang-orang “Prancis murni” oleh para imigran.

Untuk sebuah kehangatan yang mahal, di sebuah kota yang kadang terlalu dingin di antara manusia-manusianya, satu-dua perjumpaan dengan orang-orang yang teks-teksnya kubaca dan reputasinya kudengar sejak di Indonesia memberiku sensasi tersendiri, dan mungkin makna di dalam perjalananku. Perjumpaan-perjumpaan itu membebaskanku dari keletihan teknis keseharian yang kadang mengganggu, membangunkan kota lain di pikiranku, sebuah “kota literer” yang para penghuninya adalah para penulis, filsuf, pemikir, aktivis politik, penyair, dan seniman. Satu per satu nama-nama baru mulai masuk ke dalam “kota literer” itu: Badiou, René Scherer, Hélène Cixous—bagiku, dia adalah “Derrida” dalam rupa feminin, mendengarkan kuliahnya mengingatkanku pada intonasi pemikir dari El-Biar itu; dan kuharap sebentar lagi menyusul Jean-Luc Nancy, Rancière, Balibar, Claude Addas, dan seterusnya dan seterusnya.

Satu-dua perjumpaan itu sudah cukup memberi sedikit kebahagiaan kecil di tengah apatisme khas Parisien, kebahagiaan yang bagai lilin, memberi secuil kehangatan di antara dinginnya kota yang aromanya tak lagi sesemerbak parfum dari era Belle Époque


Tengah Oktober 2012

Tak ada yang menggembirakan hari-hariku di awal musim gugur yang dingin ini kecuali bisa mulai belajar dengan tenang, meski di tengah suhu yang membuat tulang-tulang dan otak serasa membatu. Kehangatan suasana kampus memberikan suntikan energi tersendiri yang mencairkan kebekuan-kebekuan “fisik” yang kadang kualami berhadapan dengan cuaca Paris seperti ini. Bila awal-awal kedatanganku di Prancis sebulan lalu yang kualami serasa bagai ujian mental, saat ini lebih terasa seperti ujian fisik, seberapa tangguh kondisi fisik menghadapi terpaan angin dingin yang seperti hendak menguji ketebalan pori-pori kulit ini.

Aku senang bertemu dengan Jean, seorang mahasiswa dan aktivis dari Haiti yang sedang menekuni Marx untuk tesisnya; pertemuan dengannya mengajariku tentang persahabatan yang tak mengenal warna kulit dan ras. Jauh-jauh dia datang dari Haiti dan belajar di Paris untuk mencari jawaban atas problem-problem sosial di negerinya terkait kapitalisme, otoritarianisme, dan demokrasi. Problem khas Dunia Ketiga, tak ubahnya di Indonesia. Jadilah pertemuan dan persahabatan kami seperti pertemanan dua “subjek postkolonial”, dua orang dari Dunia Ketiga yang pergi jauh-jauh ke Eropa untuk melihat sejarah bangsanya sendiri dari perspektif pemikiran Eropa yang pernah mengkoloninya. Hanya, Jean mungkin lebih layak menyandang sebutan itu, karena dia berangkat dari Haiti memang untuk menggeluti problem-problem sosial yang konkret yang ia hadapi, sementara aku tak persis seperti itu—belajar di Belanda akan lebih tepat untuk seorang mahasiswa Indonesia melacak postkolonialitasnya.

Tak semua mahasiswa asing yang kukenal seserius Jean, setidaknya pada kesan pertama. Beberapa di antaranya tampak masih meraba-raba orientasi filsafat dan mungkin pergulatan yang akan mereka hadapi. Sederhananya, tak semua dari mereka punya “kesadaran politik” yang terbentuk sebelum berproses di kampus. Mungkin mereka akan menemukan jalan ke arah itu lewat gesekan-gesekan di organisasi-organisasi sindikal yang cukup meriah di sini—dari organisasi yang beraliran “hijau” (ekologi radikal) sampai “merah” (sosialis, komunis, Leninis, Trotskys, dst.), dari organisasi hobi dan senang-senang sampai organisasi etno-nasionalis (pro-Palestina, Aljazair, dst.). Atau mereka akan menemukan lewat jalan lain, lewat “jalur sunyi”, lewat pemikiran dan teori-teori yang didiskusikan di dalam kelas atau bacaan-bacaan di perpustakaan. Semua mungkin terjadi. Entah lewat jalur depan atau jalur belakang, atau dua-duanya, “kesadaran politik” itu merupakan sesuatu yang potensial meletup di tengah suasana kampus dan Paris pada umumnya, yang sangat mendukung bagi suburnya aktivisme sindikal.

Pelan-pelan aku menemukan ketersambungan antara pemikiran dan aksi, antara diskursus dan wacana yang terbentuk di ruang-ruang kelas dan motivasi untuk berbuat sesuatu di luar kampus. Ketersambungan itu tidak niscaya terlihat, tapi kenyataannya selalu terjadi diam-diam tanpa disadari. Dari luar dan secara lahir, tak tampak wajah-wajah militansi pada profesor-profesor yang kutemui; mereka mengajarkan dan mendiskusikan filsafat dan teori-teori “perlawanan” dengan dingin dan santai—kata-kata “revolusi” berseliweran nyaris tanpa ekspresi, seakan-akan itu istilah yang tidak istimewa atau biasa-biasa saja. Tak tampak pretensi pada penampilan mereka sebagai pemikir yang harus disegani dan dihormati karena mengajarkan sesuatu yang “wah”, yang bisa mengguncang dunia. Mereka mengajar dan hanya mengajar, sering kali dengan intonasi suara yang halus seperti hendak membacakan puisi atau sekadar bercakap-cakap. Tapi, mereka tentu saja mengajarkan sesuatu yang besar, suatu hal yang jelas hasilnya tak bisa langsung dimamah seketika, tapi mesti dicerna pelan-pelan untuk kemudian dikembangkan dalam praksis. Agak berbeda sepertinya dengan di Indonesia, di mana banyak di antara mereka yang disebut-sebut “intelektual”, “pemikir”, “filsuf”, atau “tokoh publik” cenderung selalu ingin dominan dan menjadi nomor satu, ingin tampak gagah di depan publik yang ia harap menyimaknya dengan penuh kekaguman setengah mati. Mungkin itu terjadi karena perlakuan kita yang kelewat berlebih terhadap figur ketokohan; suatu kultur paternal yang menggerayangi dunia pemikiran dan juga penulisan. Suatu kultur yang menahbiskan seseorang dan memberinya harapan muluk untuk menjadi sang pengucap sabda, dengan kata-katanya yang bagai mantra di hadapan khalayak yang mendengarnya.

Salah satu profesor dengan tipikal seperti di atas, mungkin, adalah Peter Hallward, seorang filsuf muda dari Inggris yang tahun ini diundang mengajar di sini, pemikir yang terkenal dengan dua studinya yang mendalam tentang Alain Badiou dan Gilles Deleuze. Belajar bersamanya tak menyiratkan kesan sama sekali bahwa kami, para mahasiswanya yang cuma delapan orang itu, tengah belajar bersama seorang redaktur jurnal Radical Philosophy yang radikal itu. Jauh dari kesan itu, sosok dan gaya tuturnya tampak terlalu “lugu” dan “halus” untuk seorang filsuf yang menulis tentang Badiou dan terlalu inosens untuk seseorang yang begitu fasih mengutip Mao dan Lenin. Ia memanggilku “Muhammad”, dan suatu saat ia memintaku membacakan sebuah paragraf dari sebuah teks filsafat, sebelum mengulasnya panjang lebar dengan interpretasinya sendiri. Sebuah cara cerdas merangsang mahasiswa agar tidak pasif dan hanya mendengar kuliah yang disampaikan.

Beberapa profesor, lebih tua dan senior daripada Hallward—salah seorang dari mereka merupakan murid dari Canguilhem, guru Foucault, dan dengan demikian satu angkatan dengan Foucault, meski lebih muda—juga tak pernah menampakkan diri menonjol, meski punya sederet karya penting dan pengalaman berguru dengan nama-nama macam Hyppolite, Althusser, Lacan, Foucault, Deleuze, atau Derrida. Mereka hilir mudik bersama mahasiswa seperti bukan siapa-siapa, mengajar dan mungkin menulis seolah tak ada sejarah di balik mereka.

Dari sebuah bangku di depan kafetaria, aku memandang dinding-dinding kampus yang tampak kusam di saat-saat cuaca mendung seperti ini. Namun denyut kehidupan tetap berjalan di dalamnya, dengan keriangan dan kehangatannya sendiri, juga kebekuan dan ketakacuhannya, seperti ritme kehidupan di Paris yang selalu sibuk dikejar dan mengejar waktu.


1 September 2012

Hari pertama keberangkatan ke Paris. Dua hari sebelumnya di Jakarta, aku dilepas oleh keluarga—Mbah, adik-adik, saudara-saudara, juga sanak famili di Bandara Surabaya. Penerbangan Surabaya-Jakarta lancar. Meski berat berpisah dengan keluarga besar, aku masih senang bisa ditemani kedua orangtua, Abah dan Ummi, ke Jakarta. 31 September, mengambil visa ke Kedubes Prancis, ketemu Vincent di Bundaran HI, lalu ke Ciganjur, seharian. Meninggalkan orangtua di sebuah apartemen milik seorang kerabat di Kalibata. Tak tega, sebenarnya. Tapi ini detik-detik terakhir di Indonesia. Bertemu teman-teman di Pesantren Ciganjur dan pamitan. Saat itu aku berpikir, “Sejauh-jauhnya aku belajar ke luar negeri, aku toh tetap santri”. Rasanya tak sopan bila pergi tanpa pamitan dulu ke pesantren almamater tempatku belajar. Keesokan harinya, pagi-pagi subuh, aku kembali ke Kalibata. Mengemas barang-barang. Siangnya, ke Bandara Soetta, ditemani orangtua dan Wawan. Menunggu teman-teman penerima beasiswa lain, Dian dan Fitri, berkumpul. Check-in. Kekikukan pertama pun terjadi: sempat kerepotan menata ulang isi koper karena sedikit “over”. Tapi teratasi. Melapor ke Imigrasi. Tak sengaja bertemu teman sekelas dulu di CCF: Leo. Dia berangkat ke Prancis juga, hanya beda maskapai. Senang akhirnya satu per satu teman sekelasku di CCF berangkat ke Prancis—Shofa, Priyo… Masuk pesawat internasional, untuk kali pertama. KLM jurusan Kuala Lumpur-Amsterdam-Paris. Tak sengaja duduk satu deret dengan warga Indonesia yang sekarang bekerja di Amsterdam, Mas Enang, dan sempat menjadi manajer di Menara Petronas, Malaysia. Bertukar pikiran tentang banyak hal: dari selera makan Eropa sampai kasus kekerasan atas Syi’ah di Sampang. Tak terasa waktu perlahan bergeser ketika pesawat mulai terbang ribuan kaki di atas permukaan. Tiba di Kuala Lumpur. Transit. Berkumpul dan kenalan dengan teman-teman beasiswa lain dari Bappenas, beberapa di antaranya juga akan tinggal di Paris. Berangkat lagi, menuju Amsterdam. 16 jam lagi tiba. Tiba di Amsterdam, melihat bandara yang luar biasa besar. Sayang tak sempat ambil foto. Kapan-kapan janji akan sampai lagi ke sini. Pemeriksaan sangat ketat. Kuatir risiko kena sensor anti-bajak, terpaksa membuang beberapa keping CD film kopian yang rencananya akan ditonton sesampai di Paris. Tapi, laptop aman. Masuk lagi ke KLM. Kali ini pesawatnya lebih kecil. Menuju Paris. Banyak kursi kosong. Andai saja bisa mengajak keluarga dan teman-teman untuk mengisi kursi-kursi kosong itu. Melihat Amsterdam dari atas, tanah-tanah pertanian yang luas dan hijau. Lalu awan tebal. Amsterdam-Paris rupanya sedang mendung. 10 menit lagi tiba di Bandara Charles de Gaulle (CDG). Melihat dari balik jendela pesawat, kupandangi campagnes, desa-desa di pinggiran Paris yang lebat dan hijau, juga danau-danau. Akhirnya, mendarat di CDG. Subuh belum beranjak. Suasana terasa kelabu, dan mendung. Keluar terburu-buru, walaupun sempat berfoto sebentar, untuk mengambil bagasi. Ternyata, kami bertiga—aku, Fitri, Dian—harus berpisah di sini. Fitri akan melanjutkan perjalanan ke Montpellier. Dian dijemput keluarganya yang kebetulan sudah lama tinggal di Paris. Pertemuan yang bersejarah, karena beliau ternyata seorang eksil korban 1965, dan kini mengelola restoran ”Indonesia” yang terkenal itu, di Paris. Buru-buru aku melanjutkan perjalanan, mencari loket bus bandara yang akan mengantarku ke Porte Maillot. Sempat kehilangan 3 Euro, gara-gara mencoba menelepon tapi salah menaruh koin. CDG sangat ramai. Sempat juga menabrak orang dengan troli, gara-gara kelelahan mengangkat koper. Dan “insiden” terakhir: sempat dipalak seorang “preman”, yang meminta “sedekah” uang tapi karena tak kuberi, mengatai-ngatai dengan bahasa vulgar. Sinisme khas terhadap kaum imigran. Paris, kota yang keras. Aku memaklumi itu. Lalu naik bus jurusan Porte Maillot-Champs-Elyssée-Etoile.

2 September 2012

Jalanan aspal dengan pohon-pohon hijau yang tampak muram dan berdebu. Ini akhir musim panas, banyak pohon meranggas. Aku melewati jalan menuju kampusku, melihat sudut-sudut banlieue Paris dari jauh: pasar murah St. Ouen, tenda-tenda tunawisma di pinggir jalan… Paris bukan hanya kota bagi yang berpunya. Di sini banyak juga orang melarat. Bus melaju kencang. Lalu memasuki perut kota, dan sampai di Porte Maillot, halte bus yang terletak tepat di depan pusat perbelanjaan Galeries La Fayette. Seperti tak percaya kalau foto Galeries itu, yang kulihat pertama kali 6 tahun lalu di sebuah kos-kosan di Yogyakarta, kini ada di depan mata. Aku mencari sebuah kabin telepon untuk minta dijemput taksi. Campus France sudah memesankan taksi untukku menuju CISP (Centre International de Séjour de Paris), Ravel, Paris arondissement 12, tempat aku akan menginap sampai besok pagi. Ini adalah tempat mahasiswa-mahasiswa internasional dari berbagai negara “ditampung”, sebelum melanjutkan perjalanan ke kampus tujuan. Lalu bertemu dengan seorang mahasiswa, Jerome, dari Tanzania. Dia membantuku memanggil taksi. Berdua kami naik taksi, pertama, ke tempat Jerome (dia akan menginap di hotel Ibis), lalu ke tempatku. Kami beruntung, menemukan sopir taksi yang ramah. Masih banyak orang baik di Paris. Dia mengantarku dengan senang hati, dan gratis. Tiba di Ravel, Vincennes. Melapor ke CISP, tapi belum boleh masuk. Kamar baru buka jam 2 siang. Aku tak tahu ini jam berapa. Kutitipkan koper. Aku jalan-jalan melihat Vincennes. Udara dingin, meski siang mulai merambat. Ini tempat kampusku, Paris VIII, dulu berdiri, sebelum sekarang pindah ke Saint-Denis. Lapar. Tapi toko-toko tutup. Ini hari Minggu. Lewat toko McDonald, lalu keluar karena tak selera. Selain mahal. Lalu mencari telepon untuk menelepon orang rumah tapi tak ketemu. Lalu, tanpa sengaja, bertemu dengan wartel dan warnet. Sempat mengunggah foto sebentar di FB. Lalu keluar, mencoba menelepon kembali, walaupun tetap tak berhasil. Pulang ke CISP, dengan kaki bengkak dan perut keroncongan. Akhirnya dapat kamar, mencoba istirahat. Dan memasak nasi Italia yang sebelumnya sempat kubeli, juga makan beberapa snack. Entah ini jam berapa. Tapi hari sudah malam. Melihat Vincennes dari dini hari, seperti melihat malaikat-malaikat kesunyian turun dari langit. Bangun dini hari, aku turun, mencari angin segar. Mungkin kali ini telepon bisa. Dan bisa. Di sini jam 2 dini hari, di Indonesia jam 7 pagi. Senang mendengar suara mereka. Bertemu dengan rombongan mahasiswa dari Tunisia, ngalor-ngidul tentang revolusi Tunisia  dan lelucon LMD (Licence-Master-Doctorat), jenjang pendidikan tinggi Prancis, yang mereka plesetkan menjadi “Laissez-Moi Dormir” (Biarkan aku tidur). Aku pamitan dengan mereka, lalu tidur, seperti motto itu. Ya, laissez-moi dormir, karena pagi besok harus berkemas lagi. Menuju Saint-Denis.

3 September 2012

Pengalaman pertama naik Métro, kereta cepat bawah tanah Paris. Setelah dipikir-pikir, ini benar-benar perjalanan seperti yang dialami kampusku, dari Vincennes ke Saint-Denis. Melewati banyak stasiun metro, yang berkesan di antaranya St. Lazare. Banyak nama tempat di Prancis berasal dari nama santo atau tokoh-tokoh agama. Aku melihat orang-orang membaca di metro. Paris, kota orang-orang yang rajin membaca. Sempat berkenalan dengan seorang mahasiswa India, juga mahasiswa Paris VIII. Turun di Basilique St. Denis, mencari arah Résidence L’Hermitage, tempat aku akan tinggal setahun ke depan. Suasana lengang. Dan kulihat taman kota (place) yang mulai ramai dilalui hilir-mudik orang. Akhirnya aku menemukan gedung L’Hermitage. Aku menyetor berkas-berkas, setelah antre hampir 1 jam. Mereka menerimaku dengan baik dan ramah, bahkan langsung direktur Résidence yang berkenan mengurus dokumenku. Tapi ada satu dokumen yang kurang, pernyataan asuransi penginapan. Untuk memperolehnya, aku harus ke kampusku, yang berjarak hanya 4 kilo dari sini. “Keharusan” yang mendahului waktu, sebenarnya. Karena aku ingin ke kampus untuk pertama kalinya beberapa hari ke depan, setelah semua urusan penginapanku selesai. Tapi ini tak bisa ditawar-tawar. Akhirnya aku berangkat ke Paris VIII. Pertama kali naik bus SNCF, dan pertama kali juga tiba di Paris VIII. Kampus yang sekian lama mengganggu tidurku itu kini di depan mata. Kampus yang sangat kontemporer. Sambil menunggu kantor asuransi cabang kampus buka, aku berkeliling, menemukan sisa-sisa pamflet dukungan terhadap revolusi Arab. Kantor itu ternyata tutup hari ini. Jadi aku harus pulang. Setelah sempat diberi pengertian, akhirnya mereka mau memaklumi dan mempersilakan aku menempati kamar yang telah disediakan. Hari pertama punya kamar sendiri di Paris. Benar-benar sendiri, tanpa teman atau keluarga. Kamar yang sederhana, tapi cantik, dengan tetangga rata-rata kaum imigran Afrika dan Arab. Aku melihat anak-anak bermain, di bawah bayang-bayang Basilika Saint-Denis di timur. Saint-Denis memiliki kawasan belanja yang cukup ramai. Sambil melangkahkan kaki, aku mulai mencari kebutuhan-kebutuhan dasar untuk tetap survival di Paris. Dan bersiap-siap untuk tidur malam ini tanpa bantal dan selimut.

4 September 2012

Masih dalam suasana survival. Mengurus kembali surat asuransi yang diminta pihak asrama. Di Prancis, semua diasuransikan. Termasuk kos/wisma tempat kita tinggal. Sistem securité sociale di sini benar-benar efektif, dan ketat. Tak boleh ada yang tak tercatat, atau ilegal. Semua harus terdokumentasi dengan baik. Setelah sempat bertemu pihak asuransi, ternyata ada lagi yang kurang: nomor rekening pribadi. Pihak asuransi tak dapat menjamin tanpa rekening bank. Sempat setengah mati mencari bank, karena La Poste—bank paling besar Prancis, dan paling ramah buat pelajar—baru membuka tabungan baru untuk mahasiswa seminggu lagi. Akhirnya ketemu bank. Dengan tarif asuransi yang cukup mahal, sebenarnya. Namun, karena terpaksa harus dapat surat asuransi sekarang, sedang asuransi butuh rekening bank, kupastikan mendaftar di bank itu. Dapat surat asuransi dan rekening, kusetor ke pihak asrama. Akhirnya, beres. Berarti sudah aman, tak perlu kuatir pindah-pindah lagi. Hari sudah siang. Mencari des petites monnaies, uang receh, untuk tiket metro. Sempat berputar-putar di kawasan Basilique, sampai ketemu penukaran uang. Pemandangan Basilika yang menakjubkan. Kulihat patung St. Denis dengan kepala di tangan. Santo ini konon dihukum pancung sampai kepalanya lepas. Ajaibnya, ia memegang kepalanya sendiri dengan tangannya. Kisah St. Denis adalah tragedi. Mengingatkanku pada Al-Hallaj dan Suhrawardi. Aku melewati halaman Basilika dengan mata masih terpaku pada gedung gereja kuno itu. Lalu naik metro, menuju Vincennes. Menjemput koper yang dititipkan. Melintasi lagi Paris dari bawah tanah. Sampai di Vincennes. Membawa pulang koper, dengan metro lagi. Sebelumnya sempat makan di kedai Pak Gemal, orang Aljazair, di dekat boulevard Porte de Vincennes. Sempat bercakap-cakap bahasa Arab dengannya. Jadi makin mengerti beragamnya wajah Paris. Tak ada bahasa yang tunggal di sini. Orang dapat menjadi Franko-Arab, tapi sekaligus Franko-Afrika atau Prancis saja. Pergi meninggalkan kedai, bertemu lagi dengan pengamen, tapi kali ini “baik hati”. Sesampai di St. Denis, hari sudah sore. Walaupun bagi penduduk St. Denis, ini masih “pagi”. Jam 4 sore, memang masih waktu dzuhur, bila dibandingkan dengan di Indonesia. Di sini waktu ashar mulai jam 17.30. Lalu maghrib jam 20.30. Agak aneh hidup dengan perbedaan waktu. Selesai menaruh koper, berjalan-jalan di sekitar Hôtel de Ville, kantor Walikota setempat. Kantor pemerintahan di sini nyaris tak formal. Letaknya bersebelahan dengan pasar dan pusat perbelanjaan. Lalu pergi mencari barang-barang, dan ketemu toko buku antik (librairie) di samping Carrefour. Suatu saat berjanji ke toko buku itu. Hari sudah malam. Jam 20.00. Walaupun sisa-sisa sinar matahari di ufuk masih memerah. Pulang ke kamar. Membawa mimpi membeli buku pertama di Paris.