Des Feuilles de Paris (3)

19Des12

November 2012

Peristiwa-peristiwa berlalu-lalang dengan cepat di kota yang dingin ini, di mana cahaya matahari kadang tampak begitu kikir berbagi sedikit saja kehangatan cahayanya bagi kami, para penghuni kota ini. Di antara lalu-lalang peristiwa-peristiwa itu, yang tak semuanya tercatat atau teringat detail-detailnya—karena mereka sering kali berlalu lebih cepat daripada kata-kata—pada momen tertentu, pada titik tertentu dari gelombang kesadaranku, yang berusaha menandai, menamai, atau menorehkan seberkas saja makna pengalaman-pengalaman itu di dalam ingatanku, aku merasakan kebenaran kata-kata Rimbaud, dalam sebuah puisinya yang dikutip Badiou dalam kuliahnya di École Normale Supérieure beberapa minggu silam: “Je suis un éphémere et point trop mécontent citoyen d’une métropole crue moderne parce que tout goût connu a été éludé…”. “Aku hanya sesosok remeh dan sama sekali bukan penduduk yang terlampau tak puas dari sebuah kota metropolitan modern yang kasar, karena semua aroma yang pernah dikenal telah lenyap…”. Rimbaud menulis itu untuk London yang dilihatnya pada akhir abad ke-19, namun kata-kata itu terasa begitu mengena untuk menggambarkan sebagian peristiwa di sudut-sudut Paris yang kualami.

“Aku hanya sesosok remeh”; di antara jutaan orang yang berlalu-lalang di kota ini, aku hanya sebuah titik yang muncul dan menghilang di antara kelimun orang-orang yang bergegas di metro, para konsumen yang mengantre di supermarket, para pedagang dan pembeli yang bertransaksi di pasar, para turis yang berjalan di pinggir Seine, para pendengar di ampiteater Sorbonne, para mahasiswa yang berburu buku-buku murah di Saint-Jacques, para demonstran pro-Palestina…. dan seterusnya dan seterusnya. “Aku hanya sesosok remeh”, kata Rimbaud, tapi aku “sama sekali bukan penduduk yang terlampau tak puas”. Ada penyangkalan di dalam kata-kata itu, seakan Rimbaud hendak menyembunyikan ketakpuasannya; ia merasakan keberadaannya yang seakan tak berarti di kota itu, namun ia menyangkal bahwa ia sedang tak puas—suatu penyangkalan yang membuktikan sebaliknya, bahwa ia tak puas. Penyangkalan yang megisyaratkan suatu permainan kontras dalam hubungan antara Rimbaud dan “kota”-nya: ia tak puas karena ia hanya menjadi sesosok remeh yang barangkali tak berarti di antara penduduk kota itu, namun ia bukannya tak puas—dan seperti sedang mencari kepuasan yang lain—terhadap kota di mana “aroma yang pernah dikenal telah lenyap…”.

Aku tersenyum merenungkan kata-kata Rimbaud. Sebuah kota memang tidak sesederhana dialektik “sentimental” antara puas dan tak puas, karena kota selalu menyimpan pesona dan maginya yang kadang tak mudah dipahami, dan karena itu seperti tak mudah untuk sekadar dicintai atau dibenci. Seseorang mungkin menyukai jalan-jalan pedestrian sebuah kota tapi membenci cahaya-cahaya billboard-nya. Sebagaimana dia mungkin tidak menyukai keramaian kota itu di pagi hari tapi menyukai kemeriahannya di malam hari.

Begitupun dengan Paris. Apa yang kusukai dan tak kusukai dari kota ini bukan hal yang mencuri perhatianku selama beberapa waktu kemarin, namun dari hari ke hari, semakin kelihatan benang-benang yang mempertemukan tapi sekaligus memisahkan kedua hal itu. “Apa yang kau sukai dari Paris?” tanyakan itu pada seorang turis yang baru dua hari menginjakkan kota ini, dia akan menjawab “Eiffel” atau “Louvre”. Tapi tanyakan kepadaku pertanyaan yang sama, aku akan tersenyum dan mengatakan bahwa jawabannya tak sesederhana itu.

Pemandangan yang megah, bangunan-bangunan kuno yang selalu mengundang rasa penasaran, atau jalanan yang bersih dan rapi baru satu di antara selubung yang menghiasi kota, namun belum “darah dan daging”-nya. Pemandangan itu baru pintu masuk untuk mengenal kota itu lebih dalam, mengenal sejarah dan orang-orangnya. Dan karena ia selubung, begitu banyak hal yang masih menunggu untuk diungkap, untuk dipelajari, untuk dialami. Pada gilirannya engkau pun akan menyadari bahwa lapisan-lapisan yang tak langsung tertangkap secara kasat itu terletak pada perjumpaan-perjumpaan antara engkau dan kota itu, antara engkau dan orang-orangnya, dan antara kota itu, engkau dan orang-orangnya.

Di dalam perjumpaanku dengan les Parisiens inilah aku menemukan sedikit demi sedikit yang kusukai dan yang tak kusukai, yang menyenangkan dan yang menjengkelkan, yang melipur dan yang menggusarkan, satu per satu seperti terkuak dari benang-benang yang kusut. Kutemukan sisi-sisi wajah yang kadang kabur dari mereka: suatu saat, kutemukan ketidakpedulian dan egoisme, di saat lain, kutemukan antusiasme dan kehangatan. Suatu saat, kutemukan sifat temperamental mereka yang sewenang-wenang, di saat lain, kutemukan senyum ramah. Suatu saat, kutemukan mereka menghardik, di saat lain, kutemukan mereka mengulurkan tangan. Tapi secara umum, kutemukan satu kecenderungan umum di mana indiferentisme, atau sikap tak mau tahu, dominan. Setiap orang seperti orang asing satu sama lain, setiap orang seakan sibuk mengurus dirinya, memikirkan pekerjaannya, seakan ada balok-balok kaca di antara mereka. Ada semacam ketakutan yang mendorong mereka lebih tertutup, lebih waspada, lebih menjaga privasi dari tatapan dan sapaan orang lain.

Mungkin karena itulah di sini lahir gagasan-gagasan besar eksistensialis yang tidak mungkin tanpa suatu pra-kondisi kultural di mana para individu mengalami semacam keterasingan yang mencekam satu sama lain. Atau itu menjelaskan mengapa ada budaya “Rendez-vous” yang sangat kuat, di mana seseorang harus membuat janji terlebih dulu untuk bertemu dengan orang lain, karena dengan cara itu mereka menjaga orang lain tetap berada dalam wilayah aman dengan privasi mereka. Selebihnya adalah pra-kondisi politis: Paris menerima bergelombang-gelombang imigran, berkulit hitam, cokelat maupun putih, dari Afrika, Asia, dan Eropa Timur; kehadiran para imigran itu menimbulkan sentimen konservatif tertentu, fobia, dan ketakutan tertentu. Hal ini menjelaskan mengapa partai-partai konservatif tetap dan makin kuat mendapat dukungan dengan memanfaatkan sentimen rasial akan terancamnya identitas orang-orang “Prancis murni” oleh para imigran.

Untuk sebuah kehangatan yang mahal, di sebuah kota yang kadang terlalu dingin di antara manusia-manusianya, satu-dua perjumpaan dengan orang-orang yang teks-teksnya kubaca dan reputasinya kudengar sejak di Indonesia memberiku sensasi tersendiri, dan mungkin makna di dalam perjalananku. Perjumpaan-perjumpaan itu membebaskanku dari keletihan teknis keseharian yang kadang mengganggu, membangunkan kota lain di pikiranku, sebuah “kota literer” yang para penghuninya adalah para penulis, filsuf, pemikir, aktivis politik, penyair, dan seniman. Satu per satu nama-nama baru mulai masuk ke dalam “kota literer” itu: Badiou, René Scherer, Hélène Cixous—bagiku, dia adalah “Derrida” dalam rupa feminin, mendengarkan kuliahnya mengingatkanku pada intonasi pemikir dari El-Biar itu; dan kuharap sebentar lagi menyusul Jean-Luc Nancy, Rancière, Balibar, Claude Addas, dan seterusnya dan seterusnya.

Satu-dua perjumpaan itu sudah cukup memberi sedikit kebahagiaan kecil di tengah apatisme khas Parisien, kebahagiaan yang bagai lilin, memberi secuil kehangatan di antara dinginnya kota yang aromanya tak lagi sesemerbak parfum dari era Belle Époque



1 Responses to “Des Feuilles de Paris (3)”

  1. 1 Triatno Yudo Harjoko

    Bung Fayyadl,

    Anda benar soal ‘kultur Asia’ (?) yang masih cukup dominan terkait ‘posisi’ (‘guru’: silat, simpay dll yg saya tidak tahu persis istilahnya). ‘Guru’ dalam pemahaman (yg keliru) – bermakna HARUS digugu dan ditiru.

    Usai pencerahan di Barat mereka tidak lagi yakin & percaya terhadap ‘ajaran/dogma’ agama – tetapi manusia sebagai homo sapiens berambisi untuk mnjelaskan ‘alam semesta ini. Kultur progress suatu pengetahuan sangat diresapi yang kemudian juga memaknai ‘manusia’ ini sangat terbatas dalam mengungkap ‘alam-semesta’ (apa yang dicerap adalah yang ‘benar’ – masalah muncul saat dia menyatakan secara verbal).

    Begitu pula terkait ‘knowledge/power’ seperti filosof dalam banyak kasus banyak dari mereka ingin ‘memposisikan (baca: memaksa’) – logika benar/salah (fisika) ke dalam metafisika.

    Filsafat sejak akhir 50’an (? maaf jika keliru) telah hengkang ke Perancis dari asal kelahirannya di Jerman.

    Saya tidak pernah mengenyam pendidikan formal filsafat, namun saya mencoba memahaminya seperti ini: “manusia berfilsafat adalah untuk mengungkap kearifan dari logika berfikir tentang sesuatu bukan untuk memastikan salah/benar dari apa yang dipkirkan”

    Salam,

    Gotty


Tinggalkan komentar