Usia Dewasa dan Kekuatan Kata-kata

05Des08

Bertransformasi memasuki usia dewasa, aku kadang merasakan kekuatan kata-kata semakin kehilangan cengkeramannya. Menghadapi kehidupan yang “sebenarnya”, aku kadang skeptis dengan dunia imajinasi yang dibangun oleh kata.

Mungkin inilah yang dirasakan para kutu buku yang beranjak meninggalkan dunia remajanya dan beralih ke dunia yang lebih kompleks: dunia orang dewasa. Sebelumnya, mereka begitu percaya pada puisi. Sebelumnya, mereka begitu percaya pada buku. Tapi, hidup tak cuma butuh buku, ternyata. Hidup yang mereka hadapi juga butuh nasi, selain puisi.

Meski aku bukan kutu buku yang baik (hampir seribu judul buku yang pernah kupunya tak semua kubaca tuntas), aku mencintai buku. Aku mencintai segala tentang buku. Dan, yang terpenting, aku mencintai setiap jengkal dunia imajiner di dalam buku, dan terobsesi untuk selalu menulis buku. Tapi minggu-minggu ini, aku benar-benar merasa, hidup tak cuma butuh buku, ternyata.

Menjelang kita dewasa, dunia tak terasa cepat berubah. Secara fisik, kita akan semakin terlihat matang, sedikit kebapak-bapakan, dan mungkin sedikit menua. Wajah yang mulus, tak lama kemudian, ditumbuhi bulu-bulu halus yang minta dicukur tiap kali melebat. Mata kanak yang berbinar, mulai terlihat rabun dan butuh kacamata. Dan bibir sesegar merah apel, mulai mencoklat karena terbiasa menghisap rokok atau sejenisnya.

Tapi, bukan secara fisik saja perubahan terjadi. Secara mental pun, jiwa kanak yang haus dan riang dengan pengalaman-pengalaman baru, kadang tak jarang, mulai luruh, digantikan jiwa yang mudah berpuas diri. Keterpesonaan kita pada dunia mulai padam, berganti dengan kejenuhan kita melihat segala yang berseliweran. Dan, semangat gembira untuk selalu bermain-main dengan apa pun yang menarik, kadang mulai tertepis dengan keseriusan khas dari seorang bapak. Dunia dewasa adalah dunia yang serius.

Dan keseriusan itu kian bertambah, kala kita mulai tak sendiri dan memiliki seorang pendamping-dan anak-anak, kelak-yang harus kita pastikan keterjaminan hidupnya. Materi dan kesejahteraan mulai jadi pertimbangan utama. Kita mulai merasakan ganasnya ketercekaman jika tak memiliki cukup uang. Ketercekaman yang memaksa kita untuk bekerja, berbisnis, atau melakukan apa pun demi memenuhi semua kebutuhan yang bertubi-tubi.

Di saat itulah, kadang, kita mulai tak sempat untuk sekadar membaca atau mengkaji buku. Sepertinya, ada perbedaan rasa nikmat antara membaca buku di usia remaja dulu dan membaca buku saat ini. Dulu, kegairahan itu begitu meletup, membuat kita seharian di kamar tanpa kuatir apa-apa; tenggelam dalam derasnya arus kata-kata. Sementara saat ini, membaca dua atau tiga jam pun telah begitu mahal. Waktu terasa begitu cepat menindih kita untuk segera meninggalkan bacaan itu dan mulai bekerja.

Hidup itu keras, seseorang suatu waktu berkata kepadaku. Mungkin ia mengeluh. Mungkin juga ia setengah memperingatkan. Walaupun aku tak suka mengeluh, aku pernah mengamini ucapan itu, yang kini memang mulai kucicipi kebenarannya.

Beberapa hari lalu saat aku mengisi sebuah diskusi filsafat di kampus, aku sempat berbincang dengan seorang kawan yang juga mahasiswa filsafat. Air mukanya terlihat keruh. Ketika kuajak berbicara tentang kesehariannya, ia mengeluh tak punya cukup waktu untuk membaca, apalagi berfilsafat. Sebab ia harus bekerja dari sore sampai dini hari berjualan. Aku salut dengan semangatnya, seperti yang sering kulihat pada anak-anak muda dari keluarga tak mampu. Namun, aku pilu ketika ia berkata: “Saya ingin lebih riil menjalani hidup. Filsafat bagi saya terlalu mengawang”.

“Lebih riil”? Ucapan itu menyiratkan seolah apa yang ia pelajari terlalu jauh dari dunia keras yang ia hadapi sekarang. Dan ia sepertinya kecewa, karena dunia imajiner di buku-buku filsafat itu, terlalu khayali baginya-dan tak “riil”.

Filsafat, sastra, teori-teori yang kita baca dalam buku, memang tak membuat kita kenyang. Buku tak menjanjikan uang. Dan membaca buku tak menjamin kita kaya. Dan karena itulah, masa-masa dewasa menjadi masa yang kritis. Masa-masa yang menggoyahkan kita pada kekuatan imajinasi, dan menggoda kita untuk mengatakan: “Dunia buku itu tidak nyata. Itu hanya sekadar imajinasi”.

Karena itulah, aku menyaksikan teman-temanku yang menulis dan membaca, berguguran ketika mereka dewasa dan mulai berkeluarga. Mereka tak lagi sempat membaca dengan asyik, seasyik dulu ketika mereka masih di kampus, masih gemar berwacana dan berideologi. Kalaupun sempat membaca, sebagian mungkin membaca untuk memenuhi kebutuhan riil: materi. Membaca dan menulis untuk semata-mata mendapatkan honorarium, dan bukan karena tujuan yang lebih idealistik-sebuah aktivitas normal yang wajar jika sepertinya tak ada lagi pilihan hidup; meskipun bagiku amatlah sulit bertahan dengan cara itu.

Masa-masa dewasa adalah masa-masa genting dalam peradaban kata-kata. Kecuali kita mau menjadi seorang ilmuwan yang mau bertahan di marjin kemiskinan, dan mau terus-menerus setia dengan pilihan hidup itu berpuluh-puluh tahun lamanya, kita tak akan tahan untuk terus percaya pada dunia kata-kata. Bagiku, masa dewasa adalah ujian hakiki apakah kita seorang pembaca dan penulis sejati. Di masa inilah, iman kekutubukuanmu diuji. Pada masa inilah, karier kepenulisanmu diuji: maukah engkau terus menulis karena mencintai tulisan, atau berhenti menulis karena ia tak menjanjikan apa-apa bagi kesejahteraanmu?

Pada saat kita dewasa, begitu banyak pilihan hidup. Engkau akan jadi apa, engkau akan ke mana, ditentukan dari pilihan-pilihan yang kau ambil saat ini.



6 Responses to “Usia Dewasa dan Kekuatan Kata-kata”

  1. tetap menjadi anak-anak di usia dewasa. itulah kemampuan unik yang harus kita miliki. bocah dalam diri kita adalah muara kreatifitas.
    tapi tentang persoalan ekonomi, atau “hal-hal realistis” mungkin sudah saatnya bagi masyarakat luas agar bisa lebih menghargai para penulis. para penerbit, jangan kasih royalti yang jelek lah. para mafia pembajak buku, bertobatlah kalian.
    aku juga sekarang mulai bertobat dari kebiasaan motokopi buku. kasihan penulisnya. aku sedikit banyak sudah tau pahitnya perjuangan melahirkan sebuah buku…yah, begitulah

  2. 2 adha_sepisau

    go ahead.
    dalam suasana “kejumudan berfikir”, apalagi dikotaku kini, pekanbaru, aku benar-benar kesepian dalam wacana.

    hidup perlu makan, kata temanku, yang penting itu sibuk, bekerja dan bekerja.
    aku gak bisa seperti itu, aku butuh teman diskusi.
    bung fay…left, go ahead…D:

  3. 3 perahu2cinta

    memang usia dewasa menjadi batu ujian bagi seseorang untuk memilih yang terbaik. Maka tidak jarang orang yang dulunya mengaku intelaktual malah terjebak pada “ruang pelacuran ide”. Ya, inilah hidup, penuh dinamika.

  4. Masuk dewasa itu seperti dikejar2 debt collector tiap hari. Tiba2 ada target yang minta dipenuhi mirip utang yang jatuh tempo. padahal kita merasa tak pernah berutang kepada siapa pun.

  5. Membaca tulisan ini, saya tidak sedang membenarkan diri. Walaupun saya tidak mengamini semua, tapi saya tidak membantah fakta ini. Karena hidup memang butuh KEPASTIAN setelah kita berlama-lama dan larut dalam KHAYAL.
    D’ Ayak, di mana sekarang? Yang pasti, tulisan-tulisan di blog ini sedikit membantu lamanya tak bersua. Salam dari Jakarta yang sebentar lagi mengabdi di Madura.

  6. 6 Mu Eko Rasiyanto

    Saya belum sekali merasakan dunia tuntutan yang seperti bapak/sodara haturkan dalam tulisan, tetapi saya mengalami dan menyangsikan bahwa, tulisan bpk hanya bercerita tentang kewaspadaan, bukan di lengkapi dengan kerangka solusi yang solutif p


Tinggalkan komentar